Proyeksi BPJS Kesehatan Defisit 28 Triliun, Menkeu Bilang Begini…

Uncategorized100 views

Bintangsulut.com – JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diproyeksi kembali mengalami defisit Rp 28 triliun pada tahun ini.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menegaskan bakal memonoter kinerja BPJS Kesehatan dalam beberapa bulan ke depan.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan, pemerintah tidak ingin hanya sekadar membantu mendorong kinerja BPJS Kesehatan dengan menyuntikkan dana talangan.

Di sisi lain, ia meminta harus ada perbaikan sistem agar lembaga tersebut bisa memiliki kinerja yang berkelanjutan sehingga tidak hanya bergantung pada APBN.

“Karena kita tidak ingin hanya melakukan pembayaran defisit tapi lebih kepada secara fundamental ada perbaikan sistem jaminan kesehatan nasional yang bisa menciptakan suatu sistem sustainable,” kata dia di Jakarta, Senin (22/4/2019).

Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem yaitu melalui data-data audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Data BPKP tersebut menjadi landasan pemerintah memperbaiki kinerja BPJS Kesehatan ke depan.

Sri Mulyani Indrawati
“Ya kan kita sudah dapat audit BPKP secara total yang menjadi basis kita menangani masalah BPJS Kesehatan itu,” tuturnya.

Sri Mulyani menambahkan, selain melihat dari pencapaian kinerja BPJS Kesehatan selama 6 bulan ke depan, pihaknya juga akan melakukan identifikasi koordinasi antara kementerian dan lembaga.

Termasuk di dalamnya tatakelola tagihan, dari sisi penerimaan, dan peserta BPJS.

“Terutama dari peserta yang bukan penerima upah reguler, itu menjadi salah satu yang perlu untuk ditingkatkan, dan juga dari sisi hubungan antara BPJS dengan Kemenkes di dalam mendefinisikan berbagai policy,” ujar dia.

Tiga Permintaan Menkeu

Pada tahun lalu Kemenkeu telah mencairkan dana Rp 5,6 triliun untuk menutup defisit, namun realisasi suntikan dana pemerintah pada tahun lalu sebesar Rp 5,2 triliun.

Sebelumnya, Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan beberapa hal menyusul temuan defisit Rp 9,1 triliun pada 2018.

Data tersebut merupakan temuan atau hasil audit dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pertama, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meminta BPJS Kesehatan memperbaiki data kepesertaan dan penerimaan iuran.

“Mengacu pada hasil Audit BPKP, BPJS Kesehatan perlu melaksanakan perbaikan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Menurut Sri Mulyani, BPKP menemukan jumlah kepesertaan yang belum memiliki NIK, maupun NIK ganda, dan yang sudah meninggal dunia.

Hal ini dinilai perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas program.

Kedua, Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan untuk memperbaiki biaya manfaat jaminan kesehatan. Ketiga, BPJS Kesehatan diminta melakukan strategic purchasing.

Pada 2018, pemerintah, imbuh Sri Mulyani, telah menunaikan seluruh kewajiban terkait JKN, yang meliputi pembayaran bantuan iuran untuk PBI sebesar Rp 25,5 triliun.

Juga pembayaran porsi pemerintah untuk Peserta Penerima Upah (PPU Pemerintah) yang terdiri dari ASN, TNI, Polri, dan pensiunan sebesar Rp 5,4 triliun.

Adapun untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah, ucap dia, telah memberikan bantuan sebesar Rp 10,2 triliun, yang dicairkan berdasarkan hasil review oleh BPKP.

Ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan, ada 9-10 item hasil kesimpulan rapat kerja pemerintah dengan DPR terkait hasil audit BPJS Kesehatan.

“Ada juga perintah untuk melihat sistem asuransinya termasuk tentang iuran. Ada itu perintahnya satu per satu,” jelas Suahasil.

Premi Tak Seimbang

Persoalan defisit anggaran BPJS Kesehatan memang sangat rumit.

BPJS Kesehatan sempat menunggak tagihan rumah sakit hingga Rp 11 triliun sehingga menimbulkan permasalahan, tahun lalu.

Kemudian, penentuan tarif layanan antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan seringkali berbeda, begitu juga pelayanannya.

Hal lain yang membuat BPJS Kesehatan defisit adalah premi peserta sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan tidak seimbang dengan biaya manfaat.

Hal itu pernah disampaikan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori di Bogor, Jawa Barat, awal April lalu.

Ansyori menyatakan untuk membuat defisit anggaran itu tidak terjadi, maka preminya harus seimbang dengan biaya manfaat.

Berdasarkan angka ideal iuran BPJS Kesehatan adalah Rp 60.514 per orang.

Jika dihitung per segmen, maka untuk peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III besaran preminya adalah Rp 42.714 per orang per bulan, kelas II Rp 80.409, dan kelas I Rp 130.805.

Sedangkan untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang preminya dibayarkan oleh pemerintah lebih rendah, yaitu sebesar Rp 35.000 per orang per bulan.

Sebelumnya usulan DJSN pada awal JKN-KIS dilaksanakan pada 1 Januari 2014 agar premi untuk peserta PBI minimal Rp 36.000, PBPU kelas III Rp 53.000, kelas II Rp 63.000, dan kelas 1 Rp 80.000 per orang per bulan. Namun, usulan ini tidak pernah diikuti.

Pemerintah menetapkan besaran iuran peserta BPJS untuk kelas 1 Rp 80.000 per orang, kelas II Rp 59.000, dan kelas III Rp 25.500.

“Kami hitung dari unit cost, harga pelayanan dan rate rasio kunjungan. Kemudian ini diproyeksikan dan dihitung dengan banyak formula, jadilah angka-angka tersebut,” kata Ansyori.

Ansyori menambahkan bahwa angka-angka tersebut adalah kebutuhan premi yang ideal dengan biaya pelayanan per orang per bulan.

Hitungan ini sudah menyesuaikan dengan kondisi kekinian, termasuk sudah menghitung terjadinya inflasi bidang kesehatan rata-rata 20% per tahunnya.

“Angka-angka ini direkomendasikan oleh DJSN jika pemerintah ingin menaikkan premi peserta dari angka yang sekarang. Kami siap ajukan premi yang baru ini jika memang ada rencana presiden untuk menaikkan premi peserta,” ujar Ansyori.

Ansyori optimistis besaran premi peserta akan dinaikkan oleh pemerintah nantinya.

Sampai saat ini tidak ada kenaikan premi, padahal regulasi mewajibkan dilakukannya evaluasi setiap dua tahun.

Kemudian pemerintah belum punya komitmen cukup. Besaran premi sampai saat ini ditetapkan lebih rendah dari hitungan aktuaria DJSN.

Menurut Ansyori, persoalan ini lebih tepatnya disebut unfunded, bukan defisit. JKN-KIS dikatakan defisit jika besaran premi sudah ditetapkan sesuai hitungan aktuaria, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata kurang.

Sedangkan unfunded adalah premi yang ditetapkan tidak sesuai dengan hitungan aktuaria, sehingga terjadi kekurangan pembiayaan.

Di sisi lain, defisit yang terjadi, lanjut Ansori, juga dikarenakan banyaknya beban yang tidak semestinya ditanggung JKN-KIS.

Misalnya, dalam hal kecelakaan kerja dan korban bencana alam.

Contohnya, seorang pekerja industri mebel menderita paru dan mata dikarenakan paparan debu selama bertahun-tahun. Ketika sakit dan berobat ke fasilitas kesehatan, pasien ini menjadi beban pembiayaan JKN-KIS.

“Seharusnya pembiayaan untuk penyakit seperti ini masuk dalam jaminan kecelakaan kerja. Beban-beban pembiayaan yang tidak semestinya inilah yang menyebabkan pengeluaran BPJS Kesehatan membengkak, dan turut berkontribusi pada defisit. Yang harus diingat, penetapan besaran iuran peserta JKN-KIS tidak pernah menghitung kecelakaan kerja dan bencana,” tandas Ansyori.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

News Feed